Kisah Semangat Para Ulama Dalam Menulis Ilmu

Kisah Semangat Ulama Menulis Ilmu
 

Ada sya'ir yang pernah diungkapkan oleh Imam Syafi'i rohimahullah,

Ilmu itu bagaikan hewan buruan, dan tulisan adalah tali pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kokoh.

 Salah satu cara mengikat ilmu adalah dengan menulis. Dengan menulis, ilmu itu tidak cepat lupa dan hilang. Bahkan bisa bermanfaat untuk orang lain.

Menulis bagi para ulama zaman dahulu adalah kegiatan yang sangat penting mereka lakukan. Dan tentunya, para ulama salaf dulu sangat identik dengan ketelatenannya dalam menulis.

Menulis itu juga salah satu hal dalam menghargai waktu.

Kita perlu bercermin pada ulama salaf dalam hal menulis dan menuntut ilmu, yang telah memberikan contoh terbaik bagaimana untuk terus bersemangat dalam menuntut ilmu.

Sangkin semangatnya para ulama dalam menulis, Imam Ahmad bin Hambal pernah berkata "Manusia lebih membutuhkan ilmu agama daripada roti dan air minum. Karena manusia butuh kepada ilmu agama setiap waktu, sedangkan untuk makan dan minum hanya sekali atau dua kali dalam sehari."

Maa Syaa Allah! Bayangkan, betapa hausnya para ulama salaf dalam menuntut ilmu. Bahkan, urusan perut itu tetap kalah dengan urusan hati manusia. Karena, hati manusia lebih membutuhkan siraman ilmu terus-menerus.

Semangat Para Ulama Dan Bersabar Ketika Menulis Ilmu

Ibnu Thahir al-Maqdisy berkata : Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku

Maa Syaa Allah! Begitu berat cobaan dan ujian para ulama dalam meraih keutamaan ilmu. Hingga mereka rela berjalan jauh, memikul beban berat di punggungnya, demi mendapatkan ilmu, demi mencatat ilmu-ilmu yang mereka dapati.


Baca Juga : Mengapa Membaca dan Menulis Begitu Penting?


Menghasilkan Beribu-ribu Lembar bahkan Jutaan Lembar Karya Untuk Umat Islam

Telah tercatat dalam sejarah beberapa ulama yang memiliki karya yang sangat banyak, salah satunya adalah,

  • Muhammad ibnu Jarir Ath Thobari (wafat: 310 H), penulis kitab Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wilil  Ayil Qur’an menulis dalam sehari 40 lembar. Kira-kira beliau seumur hidupnya telah menulis 584.000 lembar.

  • Imam Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil Al Hambali Al Baghdadi  (wafat: 513 H) –manusia tercerdas di jagad raya kata Ibnu Taimiyah-, beliau menulis kitab Al Funun dalam 800 jilid, di mana di dalamnya berisi pembahasan tafsir, fikih, nahwu, ilmu bahasa, sya’ir, tarikh, hikayat dan bahasan lainnya.

  • Ibnul Jauzi (Abul Faroj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al Jauzi, wafat: 597 H), murid dari Ibnu ‘Aqil, beliau telah menulis 2.000 jilid buku dan buku yang beliau pernah baca adalah 20.000 jilid. Adz Dzahabi sampai mengatakan tentang Ibnul Jauzi bahwa tidak ada yang semisal beliau dalam berkarya.
(Dinukil dari Kitab Uluwwil Himmah, karya Syaikh Muhammad Al-Muqoddam)

Kesungguhan Para Ulama Dalam Membaca

Bagaimana bisa seseorang memasak tanpa bahan-bahan?

Bagaimana bisa seseorang menembak tanpa peluru?

Bagaimana bisa seseorang menulis tanpa membaca?


Itulah salah satu rahasia bagaimana bisa para ulama salaf bisa menulis ribuan bahkan jutaan lembar semasa hidupnya, karena mereka pun membaca ngga kalah banyaknya.

Telah tercatat para ulama itu memiliki kemampuan membaca yang luar biasa.

Ibnul Jauzy  sepanjang hidupnya telah membaca lebih dari 20.000 jilid kitab

Al-Khothib al-Baghdady membaca Shahih al-Bukhari dalam 3 majelis ( 3 malam), setiap malam mulai ba’da Maghrib hingga Subuh (jeda sholat)

Catatan : Shahih alBukhari terdiri dari 7008 hadits, sehingga rata-rata dalam satu kali majelis (satu malam) dibaca 2336 hadits.

Abdullah bin Sa’id bin Lubbaj al-Umawy dibacakan kepada beliau Shahih Muslim selama seminggu dalam sehari 2 kali pertemuan (pagi dan sore) di masjid Qurtubah Andalus setelah beliau pulang dari Makkah.

Catatan : Shahih Muslim terdiri dari  5362 hadits

Al-Hafidz Zainuddin al-Iraqy membaca Musnad Ahmad dalam 30 majelis (pertemuan)

Catatan : Musnad Ahmad terdiri dari 26.363 hadits, sehingga rata-rata dalam sekali majelis membacakan lebih dari 878 hadits.

Al-‘Izz bin Abdissalaam membaca kitab Nihaayatul Mathlab 40 jilid dalam tiga hari (Rabu, Kamis, dan Jumat) di masjid.

Al-Mu’taman as-Saaji membaca kitab al-Fashil  465 halaman (kitab pertama tentang Mustholah hadits) dalam 1 majelis.

Salah seorang penuntut ilmu membacakan di hadapan Syaikh Bin Baz Sunan anNasaa’i selama 27 majelis

Catatan : jika yang dimaksud adalah Sunan anNasaai as-Sughra terdiri dari 5662 hadits, sehingga rata-rata lebih dari 209 hadits dalam satu majelis.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rata-rata menghabiskan waktu selama 12 jam sehari untuk membaca buku-buku hadits di perpustakaan.

(Sumber : Salafy.or.id)

Mengulang Bacaan Untuk Mendapatkan Faidah Baru

Dan termasuk kebiasaan para ulama terdahulu adalah mengulang-ngulang bacaan yang sudah dibaca. Karena menurut mereka, setiap mereka membaca ulang kembali, mereka mendapatkan faidah baru.

Al-Muzani berkata : Aku telah membaca kitab Ar-Risalah karya Imam Asy-Syafi'i sejak 50 tahun lalu, dan setiap kali aku membacanya aku mendapatkan faidah baru yang belum aku temukan sebelumnya.

Gholib bin Abdirrohman bin Gholib Al-Muhaariby telah membaca Shohih Bukhori sebanyak 700 kali.



Sangat Bersemangat Dalam Mencatat Faidah

Al-Imam An-Nawawi berkata : Janganlah sekali-kali dia meremehkan suatu faidah ilmu yang ia lihat atau ia dengar. Segeralah ia tulis dan mengulang-ulangnya kembali.

 Dari dulu para ulama memang sangat bersemangat dalam menulis, mencatat faidah-faidah baru yang ia dapatkan. Karena, itu akan sangat bermanfaat bagi dirinya, bagi sekitarnya, dan bagi kaum muslimin seluruhnya.

Salah satu kenikmatan yang sering terlupakan oleh seorang hamba adalah sehat dan waktu luang. Maka, suatu kenikmatan bagi seseorang adalah ia bisa memanfaatkan waktunya dengan sebaik mungkin.

Para ulama terdahulu bersusah payah ingin menulis. Harus menyiapkan kertas, tinta, bolpoin tutul, yang itu semua sekarang sudah sangat sangat dimudahkan dengan adanya teknologi.

Sekarang, kita bisa menulis di laptop bahkan di handphone. Jadi, sudahkan kamu memanfaatkan waktumu untuk menulis ilmu?


Baca Juga : Tahap-tahap Menjadi Penulis Profesional! Ini yang harus kamu lakukan!


Sumber gambar : unsplash.com

Komentar

  1. Semangatnya para ulama ini demi menyebarkan ilmunya ya, Mba. Jadi agar tidak salah dan sepotong-sepotong ilmu yang akan dibagikan. Beda dengan kita yang suka membaca sepotong-sepotong yang berakhir salah paham dengan maksud yang disampaikan :"
    Literasi pada ulama luar biasa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, itulah mengapa para ulama dijadikan untuk menjadi contoh bagi kita

      Hapus
  2. Yang pengen saya tiru itu bagaimana orgtua mereka mendidik anaknya hingga menjadi ulama besar seperti itu. Pasti luar biasa ibu dan bapaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah untuk kisah orang tua para ulama telah saya tulis di postingan terbaru saya yang bisa dibaca disini, https://www.finahasyim.com/2022/08/Meneladani-Ibunda-Para-Ulama-mendidik-anaknya.html

      Hapus
  3. Luar biasa walaupun di jaman dulu terdapat banyak sekali keterbatasan, tapi bukan berarti itu menjalang untuk terus berbagi dan menulis terkait apa yang ingin dipelajari. Seperti pada motto ku Menulis, Belajar, dan Berbagi, karena dengan menulis adalah caraku untuk terus belajar dan semoga dari apa yang kutulis bisa memberikan manfaat kepada orang lain dengan membagikannya lewat tulisan diblog atau di media sosial.

    BalasHapus
  4. Salut sama ulama2 yang menulis buku dan tentu saja bermanfaat bagi pembacanya. Semangat membaca banyak sumber setiap hari ini istimewa, ga semua ulama mampu melakukannya. Tokoh2 kita seperti Quraish Shihab, B.J. Habibie dll.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba setuju banget, salut banget sama para ulama karena karya-karya nya tetap bermanfaat hingga zaman ini.

      Hapus

Posting Komentar