Mengapa murid harus menguasai semua pelajaran sedangkan guru hanya satu saja? Bukankah ini ketidakadilan?

Saya pun pernah bertanya hal yang sama... hingga akhirnya saya menjadi guru dan mendapatkan jawabannya. Menguasai. Mari kita artikan kata ini: Apakah maksudnya Ahli(Expert), atau bisa(Capable)?

Ada dua hal yang perlu diluruskan:
1. Guru menguasai satu pelajaran saja, tapi bukan berarti guru tersebut tidak mengerti pelajaran lain.

Seorang guru Bahasa Indonesia juga mengerti Matematika, walau tidak mendalam.
Bayangkan, kalau nilai Matematika guru Bahasa ini jeleeeeeeek sekali, ada kemungkinan dia tidak lulus sekolah, atau ia tidak bisa masuk kuliah untuk mengambil jurusan apapun, karena apapun jurusannya, nilai-nilai pelajaran utama seperti Matematika akan diperhitungkan.

Jika, nilai Matematika guru Bahasa ini 60, ia sudah bisa dikatakan lulus sekolah dan kuliah, karena secara umum dan mendasar (capable), dia memiliki kemampuan Matematika, walau tidak sampai tahap ahli (Expert) seperti teman-temannya yang mendapat 90.

2. Ekspektasi guru bukanlah agar muridnya menguasai (menjadi ahli) dalam semua pelajaran, namun cukup memiliki kemampuan yang memadai di setiap pelajaran. Ini serius.

Guru mungkin senang kalau semua muridnya mendapat nilai 90 di semua pelajaran. Namun, guru juga tahu kemampuan siswanya, dan ia punya ekspektasi yang berbeda-beda untuk setiap anak di setiap pelajaran.

Harapan guru pada anak yang kemampuan akademiknya rendah hanyalah minimal anak itu mendapatkan nilai 50-60 (tergantung standar kelulusan minimum sebuah sekolah).

Standar ini dibuat berdasarkan perkiraan bahwa jika murid telah mencapai nila tersebut, maka kemampuannya sudah "cukup" (capable) untuk digunakan di masa depan, walau tidak ahli (expert). Kedua hal ini akan membuat Anda berpikir lagi mengenai pertanyaan ini. Mungkin ada yang pernah menanyakan hal ini karena melihat dua hal ini di internet :


(balon kata : "Supaya adil, semua harus ikut ujian yang sama: panjat pohon")
(Kutipan : Semua orang jenius. Tapi, kalau kau menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka ia akan menganggap dirinya bodoh seumur hidup.)

Sebenarnya, Enstein tidak pernah berkata seperti ini, Ini palsu. Namun, kata-kata yang tertera membuat orang bergumam, "Benar, juga ya..."

Tapi, sebenarnya anggapan ini kurang tepat. Benar bahwa tiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Ini disebut teori Kepandaian Jamak (Multiple Intelligence):


Ada orang yang jago seni, bahasa, sosial, matematika, musik, olahraga, dan macam-macam. Namun, perlu ditekankan bahwa kemampuan ini bukanlah harga mati. Artinya, jika seseorang hanya jago seni dan kurang dalam kemampuan bahasa, bukan berarti dia hanya bisa dapat nilai tinggi di seni dan pasti nilai rendah di pelajaran bahasa.

Kepandaian Jamak adalah teori yang membantu guru untuk bisa mengidentifikasi kemampuan muridnya, untuk kemudian menggunakan kemampuan itu untuk mengerti semua pelajaran.

Jadi, jika Anda kemampuan musikalnya tinggi, guru bisa memainkan lagu selama belajar matematika atau membuat lagu pendek untuk membantu mengingat fakta di IPA. Ujungnya siswa tetap diharapkan bisa semua hal, dengan memanfaatkan kemampuan spesifiknya.

Kembali ke kutipan palsu Enstein di atas. Ikan tidak bisa memanjat pohon karena secara fisik tidak bisa diubah. Berbeda dengan otak. Otak itu berisi neuron yang sifatnya istilahnya neouroplasty. Seperti plastik, bisa dibentuk, tergantung rangsangan dan periode rangsangannya.

Jadi, jika ada yang bilang, "Tes terstandar itu payah! Saya selamanya akan dianggap bodoh karena saya tidak bisa Matematika!" Maka orang itu lupa bahwa kemampuan Matematika bisa diasah, dibentuk, dengan metode pengajaran yang tepat.

Ingat, kata "standar" tu berarti ada target yang dicapai. Maka jika Anda tidak bisa Matematika, tetaplah berusaha supaya mencapai target minimal, dan Anda aman.

Tes terstandar dan sekolah didesain supaya kita belajar menghadapi dunia di mana ada target yang dicapai, bukan dunia di mana semua pelajaran di sekolah akan dipakai. Tentu, ada yang namanya target sekolah juga. Sekolah ingin menjadi yang terbaik, dengan mendapat lulusan yang nilainya tinggi semua.

Tapi, biarlah sekolah yang memikirkan caranya. Murid hanya memikirkan mencapai target minimal saja. Guru pun sudah puas kalau semuanya lolos nilai minimal, walau lebih bangga lagi kalau semuanya bernilai bagus. Saya merasa begitu.

Kesimpulan :

Guru mengerti satu hal secara mendalam namun tentu tahu juga pelajaran lain walaupun hanya di level capable, dan murid pun diharapkan cuckup mencapai level capable, dalam semua pelajaran, dan jika ia sanggup, ia bisa berupaya sampai level expert.

Sumber : Quora

Komentar

  1. Jadi ingat pengalaman pribadi saya saat sekolah dulu. Jurusan IPA tapi kuliah akhirnya di Bahasa. Setelah berkutat dengan science, ternyata jiwa saya bukan di sana. Jiwa saya di Bahasa Inggris hehe. Makasih pencerahannya.

    BalasHapus
  2. Benar sekali mbak sekolah adalah sumber ilmu yang standar, minimal harus menguasai bukan berarti menjadi ahli, pada akhirnya jalan hidup berbeda-beda dan disitulah baru kita memilih yang khusus, sekolah jurusan IPA, kuliah dan bekerja di jurusan sosial :D

    BalasHapus
  3. Lebih baik dari kecil diajarin multi talenta, biar nanti bisa apa saja, dan tidak bergantung dengan satu keahlian saja..
    Dan ketika dewasa dapat milih mana yang ingin di Fokuskan untuk keahlian.

    >>iotomagz<<

    BalasHapus
  4. Mengapa semua murid harus menguasai semua materi sedangkan guru tidak? Simple, karena pasti setiap siswa/mahasiswa memiliki parameter belajar masing-masing, tidak semua orang harus menguasai semua materi untuk memahami semuannya.

    BalasHapus
  5. Wah iya yah, baru sadar kalo guru itu menguasai satu mata pelajaran saja. Sedngkan anak murid belajar semuanya. Lahh selama ini saya belajar bae, gak sadar begitu rupanya. Hem ketidakadilan atau bagaimana, rasanya memang kita sebagai murid harusnya belajar aja. Nambah ilmu, tho guru juga melewati hal yang sama hehe

    BalasHapus

Posting Komentar