"Apakah langit pernah biru? Namun, selama ini aku hanya melihat langit penuh dengan asap hitam dan penuh debu. Apakah langit indah biru dengan pelangi itu hanyalah dongeng belaka?"
Tiap malam ku dihampiri indahnya sungai dengan air yang mengalir jernih, dikelilingi dengan pepohonan yang rimbun dan berbuah lebat. Semua terlihat indah dan menyegarkan. Udara pun sangatlah bersih dan segar saat dihirup.
Namun, ketika di pagi hari, semua itu berubah. Tak ada lagi keindahan itu. Keindahan yang hanya datang ketika aku tertidur lelap. Ketika aku tak sengaja tertidur karena sudah sangat lelahnya.
Langit abu ini sudah menghiasi hidupku dari dulu. Tak pernah aku melihatnya berwarna biru. Pernah, tetapi hanya dalam bunga tidurku.
Berhamburan puing-puing bangunan di sekitar ku. Tak ada lagi yang tersisa. Bahkan kehidupanku pun ikut hancur ditelan oleh debu-debu mesiu itu.
Bom meledak sudah menjadi makanan setiap hariku. Menelan hari-hariku dan keluargaku.
Entah dimana harapku, ayah ibuku telah lama hilang setelah tak henti-hentinya bom ini bergulir menyiksa kami.
Hanya satu harapku ya Allah, aku hanya ingin melihat Ayah Ibuku untuk terakhir kalinya. Aku sudah tidak bisa berharap apa-apa lagi. Kehidupanku sudah tak ada di dunia ini. Yang ada hanyalah harap di akhirat nanti.
***
Suara ledakan bom sudah menjadi makanan tiap hari, namun tetap saja telingaku tak pernah bisa beradaptasi akan sakitnya suara itu. Tak habis-habis siksaan itu menghantui kami.
Tetapi, kata menyerah itu tak pernah ada di kamus kehidupan kami sebagai orang yang menginjak di tanah air kami. Allah-lah Tuhan kami yang menguatkan hati-hati kami. Harapan melihat wajah-Nya, mendapatkan rahmat dan buaian-Nya adalah amunisi semangat kami tiap hari.
Manusia mana yang kuat akan siksaan ini, namun tak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah kekuatan itu datang.
"Aleena!.. Sini, nak kemari. Di pengungsian ini ada beberapa makanan yang bisa kamu makan. Ayo, cepat kamu makan biar ada sedikit tenagamu itu" kata ibu di tempat pengungsian ini, dari dua hari yang lalu dia sudah menemaniku.
"Bu, ini apa?" kataku.
"Ini ramsum dan roti sisa yang insyaAllah masih layak makan untukmu. Warga lain sudah ada beberapa yang makan ini, Alhamdulillah dapat mengisi perutmu atas izin Allah."
Aku sudah lapar sekali dari 5 hari yang lalu. Kering sekali tenggorokanku. Sebelum aku tidur di pengungsian ini, aku terluntang-lantung di antah berantah, yang aku pun tak tahu itu dimana. Hingga aku ditemukan oleh petugas yang memang mengurusi warga sipil yang terluka. Akhirnya aku berada disini dengan segenap sisa-sisa tenagaku.
Tadinya aku yang sangat-sangat kehausan dan lapar, akhirnya bisa memasukkan sesuatu ke mulutku adalah suatu hal yang luar biasa nikmatnya.
MaasyaAllah roti kering dan keras ini menjadi sangat nikmat dan mengenyangkan. Aku tak menyangka bisa seterharu ini saat makan.
Air yang tak sejernih yang dulu aku minum, walau sudah bercampur pasir dan debu namun sudah sangat cukup mengisi dan membasahi kerongkonganku ini.
"Aleena! Kemari, nak," teriak ibu tadi memanggilku.
Saat diriku sudah mengisi perutku dan membasahi kerongkonganku, dan kurasa sudah cukup untuk menambah tenagaku, baru aku menghampiri ibu yang tadi memanggilku.
"Sini, nak. Ada petugas yang ingin menanyaimu. Ada yang ingin disampaikannya," Jelas ibu itu.
Ku hampiri bapak petugas itu dan duduk di hadapannya. Lalu, ia melihatku dengan tatapan seperti sudah mengenalku lama. Padahal, aku baru saja melihatnya saat ini.
"Aleena. Benar kan namamu Aleena? Aleena Humaira?," tanya bapak itu.
"Iya, pak. Dari mana bapak tahu? Dan ada informasi apa, pak?" tanyaku agak sedikit kaget, karena ia tahu nama lengkapku.
"Tenang, nak. Tidak perlu takut. Perkenalkan, aku Raizan. Teman bapakmu sejak dulu. Kamu pasti penasaran kan dimana bapak dan ibumu?"
Aku benar-benar tak menyangka dengan informasi ini. Raizan? Teman bapakku? Dan tiba-tiba dia menanyaiku tentang bapak dan ibuku? Ya Allah! Apakah Engkau langsung menjawab doaku secepat ini?
"Pak, apa bapak tahu dimana orang tuaku?? Dimana mereka pak?" tanyaku dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Tak kuat ku menahan aliran air mata ini.
Harapanku yang redup seketika muncul terang benderang seterang matahari. Walaupun ada rasa sedikit takut kalau orang tuaku sudah hanya tinggal jasadnya saja.
Namun, aku tak peduli akan hal itu sebenarnya, karena aku yakin pahala dan husnul khatimah adalah ganjaran bagi mereka berdua, surga sudah menanti mereka, jadi ngapain aku harus takut.
Tiba-tiba bapak itu tersenyum dan sedikit menunduk, lalu kembali menatapku.
"Nak, bapak dan ibumu sudah tiada. Mereka sudah dikuburkan di tempat kubur umum, di satu liang lahat. Karena banyak warga sipil yang ditemukan dan meninggal tertimpa puing-puing bangunan. Maaf, nak harus mengabarkan berita ini," kata bapak ini dengan raut muka sedih tapi tetap berusaha tersenyum.
Entah apa yang kurasakan sekarang. Antara sedih, tapi juga bahagia karena mereka telah menemukan kebahagiaan sejati sesungguhnya.
Namun, tentu saja aku tetaplah manusia. Sedih tak bisa kupungkiri. Aku sedih. Sangat memilukan mendengarnya. Tak bisa lagi aku berkata-kata.
"Pak, boleh antarkanku ke tempat makam Bapak dan Ibuku?"
Hanya itu hal yang kupikirkan untuk kukatakan ke bapak yang bernama Raizan tadi.
***
Jalan ini tak ada lagi yang kukenali. Rumahku saja aku sudah tidak tahu dimana. Pak Raizan mengantarku ke tempat peristirahatan terakhir kedua orang tuaku.
Menelusuri jalan ini, rasanya sangat memilukan. Aku tak tahu ini gedung apa, ini jalan apa. Semuanya sudah rata oleh bangunan-bangunan yang hancur.
Hingga akhirnya perjalanan memilukan ini berhenti di lapangan luas yang ternyata liang lahat yang luas tempat bapak dan ibuku berada.
Yah, bu, ku akan selalu mendoakanmu. Semoga kalian berdua bahagia disana, menemui kebahagiaan sejati. Tenanglah yah, bu, ku akan selalu mendoakanmu. Semoga aku bisa segera menyusul kalian berdua agar bisa berada di sisi-Nya dengan aman dan nyaman.
- Cerita ini hanya fiksi belaka. Terinspirasi dari kisah di Palestina. Semoga Palestina bisa merdeka dan gencatann senjata ini bisa dihentikan secepatnya. Aamiin-
Komentar
Posting Komentar